Selasa, 30 Agustus 2016

Pengalaman Hidup: Menjadi Local Staff di KBRI Yangon

Setelah mengetahui cara-cara menjadi Local Staff (LS) pada tulisan saya sebelumnya, kali ini saya akan berbagi sedikit pengalaman saya selama menjadi LS di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon, Myanmar.

Berbeda dengan para Homestaff, untuk berangkat ke negara tempat bertugas, LS harus menggunakan biaya sendiri untuk membeli tiket pesawat. Masih beruntung saya ditugaskan ke Myanmar, teman-teman saya yang ditugaskan ke tempat yang lebih jauh seperti Kanada harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar. Lebih beruntung lagi ketika itu saya mendapatkan tiket promo Malaysia Airlines hanya seharga US$ 90, padahal harga normal sekitar US$ 280 untuk sekali jalan dari Jakarta ke Yangon via KL.

Saya berangkat ke Yangon pada tanggal 6 Juni 2011. Saya sangat hafal tanggal itu karena 6 Juni juga merupakan hari ulang tahun Ibu saya. Pesawat saya ke KL berangkat jam 5 pagi sehingga jam 3 pagi saya sudah harus tiba di Bandara Soetta. Perjalanan cukup lancar. Setelah transit beberapa jam di KL saya terbang lagi menuju Yangon dan tiba di Yangon pukul 3 sore waktu setempat (perbedaan waktu dengan Jakarta hanya setengah jam lebih lambat). Saya dijemput oleh driver KBRI orang Myanmar, namanya Paw Kyi (bacanya Poci), sama Mas Johan, LS di Fungsi Protokol Konsuler yang sudah lama bekerja di KBRI. Karena saya suka motret, saya sudah menyiapkan kamera untuk mengambil gambar selama perjalanan saya dari bandara menuju KBRI, namun kenyataannya tidak ada gambar yang saya ambil karena suasana kota Yangon tidak jauh berbeda dengan kota-kota kecil di pedalaman Jawa, bahkan kita kesannya berada di masa lampau karena yang beredar adalah mobil-mobil tua rata-rata tahun 80an sampai 90an.

Setelah bertemu dan menghadap atasan saya, Bapak Totok Prianamto waktu itu, sebagai Pelaksana Fungsi Politik dan Kepala Kanselerai KBRI Yangon, saya dipersilakan untuk istirahat di Guest House KBRI. Beruntungnya para LS di KBRI Yangon karena para LS mendapat jatah flat sehingga kita tidak harus bayar sewa rumah atau apartemen. Tapi sebelum flatnya siap, kita disediakan kamar di Guest House KBRI. Fasilitas di Guest House KBRI cukup baik, ada AC dan air panas. Untuk makan dan cuci, kita dapat meminta tolong dan membayar ke Ibu Mimi, orang Myanmar yang bertugas menjaga Guest House KBRI.

KBRI Yangon memiliki tiga premis, pertama adalah kantor KBRI Yangon yang berada satu kompleks dengan Wisma Duta, kedua adalah compound perumahan homestaff, dan ketiga adalah kompleks yang terdiri dari Indonesia International School Yangon (IISY), Guest House KBRI, Flat yang disediakan untuk LS dan guru WNI di IISY, Masjid Indonesia, serta Rumah Dinas Atase Pertahanan RI.

Selama satu bulan pertama saya tinggal di Guest House, namun setelah satu bulan kebetulan ada guru IISY bernama Pak Slamet yang sudah selesai masa tugasnya. Saya ditawari untuk tinggal di flatnya dan membeli seluruh isi flatnya. Saya setuju dengan syarat aku bisa minta Bu Santhi, pembantunya Pak Slamet, untuk lanjut bantu saya selama saya tinggal di Myanmar. Sayapun pindah ke flatnya Pak Slamet, hanya mindahin badan saja, AC, pemanas air, tempat tidur, sprei, lemari, gorden, kulkas, kompor, alat makan sudah siap semua. Flatnya terdiri dari dua kamar, jadi kamar satunya adalah kamarnya Bu Santhi. Yang paling istimewa adalah Bu Santhi. Bu Santhi adalah orang Myanmar keturunan India, umur sekitar 50 tahunan. Bu Santhi udah lebih dari 30 tahun mengabdi sama orang-orang Indonesia di KBRI jadi Bahasa Indonesianya jago dan masak masakan Indonesianya juga jago. Saya terkaget-kaget minggu pertama dimasakin siomay, pempek, rawon, yang rasanya bisa diadu, bahkan lebih enak dari bikinan orang-orang Indonesia. Bu Santhi baik banget, luar biasa baiknya, rajin kerjanya, selama saya disana sayang banget sama saya kayak sama anaknya sendiri. Jadi selama saya tinggal di Yangon dibantu sama Bu Santhi.



Gimana kerja di KBRI Yangon sebagai LS? Cukup banyak suka dukanya. Sebelum punya mobil, biasanya brangkat kantor naik taksi, skali jalan 1500 Kyat (bacanya Chat) atau sekitar Rp 20 ribu. Kerjanya? Pekerjaan rutin adalah mengumpulkan berita dari berbagai sumber dan menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Saya bekerja bareng sama LS orang Myanmar, Ma Thandar yang biasanya mengumpulkan berita dari Bahasa Myanmar dan menerjemahkan ke Bahasa Inggris untuk kemudian saya terjemahkan kembali ke Bahasa Indonesia. Ma Thandar juga punya tugas buat ngatur-ngatur appointment dengan counterpart orang-orang Myanmar termasuk Kemlu Myanmar. Ma Thandar baik banget orangnya, Ibu satu anak, kita lumayan kompak kerjanya.

Dalam bekerja, walaupun lulusan S1 dari perguruan tinggi ternama, sebagai LS kita harus menurunkan ekspektasi, pekerjaan sebagai LS tidaklah glamor, kita harus ikhlas jika seringkali diminta melakukan pekerjaan yang menurut kita "ecek-ecek" seperti sekedar fotokopi, mengantarkan dokumen, dan kliping koran.

Bekerja di KBRI, kita harus aktif membantu kegiatan-kegiatan KBRI, seperti rangkaian perayaan peringatan HUT RI, peringatan hari keagamaan, kegiatan di masjid, kegiatan amal, kegiatan olahraga dan temu masyarakat Indonesia, dsb. Justru hidup di Perwakilan RI di luar negeri benar-benar merasakan "jadi orang Indonesia", sebab di tanah air belum tentu akan aktif di kegiatan-kegiatan tersebut.



Selama dua setengah tahun hidup sebagai LS di Myanmar saya merasa cukup makmur dari segi finansial, dan saya sangat beruntung dibandingkan LS yang bekerja di Perwakilan RI di negara lain. Di Myanmar saya tidak harus membayar untuk tempat tinggal karena statusnya milik KBRI. Kita hanya diminta membayar listrik saja sehingga bisa dibilang gaji saya cukup utuh. Saya bisa hidup setiap bulan mengandalkan uang lembur. Ya kita ada jatah lemburnya. Di Myanmar saya bisa punya mobil, home theater di kamar, HP yang cukup high-end pada masanya, dan hal-hal lain yang menurut saya cukup istimewa. Namun bagi yang masih muda, saran saya, jangan keenakan jadi LS karena tidak ada karirnya. Saya gunakan masa-masa sebagai LS di Fungsi Politik untuk belajar sehingga saya mampu mewujudkan cita-cita saya sebagai seorang diplomat. Saya yakin para homestaff akan mendukung usaha kita dan mereka pasti senang memiliki anak buah yang punya keinginan untuk maju. Proses seleksi saya sebagai diplomat dan "akhir masa saya sebagai LS" sudah saya ceritakan di blog saya sebelumnya. Semoga dapat menginspirasi.